SEJARAH KOREA

Sejarah Korea bermula dari zaman Paleolitik Awal sampai dengan sekarang [1]. Kebudayaan tembikar di Korea dimulai sekitar tahun 8000 SM, dan zaman neolitikum dimulai sebelum 6000 SM yang diikuti oleh zaman perunggu sekitar tahun 2500 SM. Kemudian Kerajaan Gojoseon berdiri tahun 2333 SM [2]. Baru pada abad ke-3 SM Korea mulai terbagi-bagi menjadi banyak wilayah kerajaan.

Pada tahun satu Masehi, Tiga Kerajaan Korea seperti Goguryeo, Silla dan Baekje mulai mendominasi Semenanjung Korea dan Manchuria. Tiga kerajaan ini saling bersaing secara ekonomi dan militer. Koguryo dan Baekje adalah dua kerajaan yang terkuat, terutama Goguryeo, yang selalu dapat menangkis serangan-serangan dari Dinasti-dinasti Cina. Kerajaan Silla perlahan-lahan menjadi kuat dan akhirnya dapat menundukkan Goguryeo. Untuk pertama kalinya Semenanjung Korea berhasil disatukan oleh Silla pada tahun 676 menjadi Silla Bersatu. Para pelarian Goguryeo yang selamat mendirikan sebuah kerajaan lain di sisi timur laut semenanjung Korea, yakni Balhae.

Silla Bersatu akhirnya runtuh di akhir abad ke-9, yang juga mengakhiri masa kekuasaan Tiga Kerajaan. Kerajaan yang baru, Dinasti Goryeo, mulai mendominasi Semenanjung Korea. Kerajaan Balhae runtuh tahun 926 karena serangan bangsa Khitan dan sebagian besar penduduk serta pemimpinnya, Dae Gwang hyun, mengungsi ke Dinasti Goryeo. Selama masa pemerintahan Goryeo, hukum yang baru dibuat, pelayanan masyarakat dibentuk, serta penyebaran agama Buddha berkembang pesat. Tahun 993 sampai 1019 suku Khitan dari Dinasti Liao meyerbu Goryeo, tapi berhasil dipukul mundur. Kemudian di tahun 1238, Goryeo kembali diserbu pasukan Mongol dan setelah mengalami perang hampir 30 tahun, dua pihak akhirnya melakukan perjanjian damai.

Pada tahun 1392, Taejo dari Joseon mendirikan Dinasti Joseon setelah menumbangkan Goryeo. Raja Sejong (1418-1450) mengumumkan penciptaan abjad Hangeul. Antara 15921598, dalam Perang Imjin, Jepang menginvasi Semenanjung Korea, tapi dapat dipatahkan oleh prajurit pimpinan Admiral Yi Sun-shin. Lalu pada tahun 1620-an sampai 1630-an Dinasti Joseon kembali menderita serangan dari (Dinasti Qing).

Pada awal tahun 1870-an, Jepang kembali berusaha merebut Korea yang berada dalam pengaruh Cina. Pada tahun 1895 Maharani Myeongseong dibunuh oleh mata-mata Jepang [3] Pada tahun 1905, Jepang memakasa Korea untuk menandatangani Perjanjian Eulsa yang menjadikan Korea sebagai protektorat Jepang, lalu pada 1910 Jepang mulai menjajah Korea. [4] Perjuangan rakyat Korea terhadap penjajahan Jepang dimanifestasikan dalam Pergerakan 1 Maret dengan tanpa kekerasan. Pergerakan kemerdekaan Korea yang dilakukan Pemerintahan Provisional Republik Korea lebih banyak aktif di luar Korea seperti di Manchuria, Cina dan Siberia.

Dengan menyerahnya Jepang di tahun 1945, PBB membuat rencana administrasi bersama Uni Soviet dan Amerika Serikat, namun rencana tersebut tidak terlaksana. Pada tahun 1948, pemerintahan baru terbentuk, yang demokratik (Korea Selatan) dan komunis (Korea Utara) yang dibagi oleh garis lintang 38 derajat. Ketegangan antara kedua belah pihak mencuat ketika Perang Korea meletus tahun 1950 ketika pihak Korea Utara menyerang Korea Selatan.

Masa prasejarah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Prasejarah Korea

Sejarah Korea

Prasejarah
Zaman Jeulmun
Zaman Mumun
Gojoseon
Jin
Proto Tiga Kerajaan:
Buyeo, Okjeo, Dongye
Samhan: Ma, Byeon, Jin
Tiga Kerajaan:
Goguryeo
Baekje
Silla
Gaya
Zaman Negara Utara-Selatan:
Silla Bersatu
Balhae
Tiga Kerajaan Akhir:
Taebong, Hubaekje
Goryeo
Joseon
Kekaisaran Han
Penjajahan Jepang
Pemerintahan Sementara
Pembagian Korea
Korea Utara, Korea Selatan
Perang Korea

Portal Korea

Bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia pertama menghuni Semenanjung Korea 700.000 tahun lalu, walaupun sejumlah arkeolog dari Korea Utara mengklaim bahwa Korea sudah berpenghuni 1 juta tahun yang lalu. [5]

Sejumlah artefak dari periode Palaeolitik (700 ribu SM-40 ribu SM) telah ditemukan di propinsi Hamgyong Utara, Pyongan Selatan, Gyeonggi, Chungcheong Utara dan Chungcheong Selatan. Dari penemuan tersebut diketahui pada masa prasejarah mereka tinggal di gua dan juga membangun tempat tinggal, menggunakan api, berburu dan memakai peralatan yang dibuat dari batu.

[sunting] Zaman Tembikar Jeulmun

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zaman Tembikar Jeulmun

Zaman kebudayaan tembikar di Korea dimulai sekitar 8000 SM, disebut Kebudayaan Tembikar Yungimun. Bukti-bukti arkeologinya ditemukan di seluruh Korea, seperti di situs Gosann-ni di Pulau Jeju.

Kebudayaan Tembikar Jeulmun (tembikar berpola sisir) dimulai tahun 7000 SM, dan kebudayaan tembikar dengan pola sisir di keseluruhan sisi artefak dimulai antara tahun 3500-2000 SM. Tembikar Jeulmun sama dengan tembikar yang ditemukan di Primorsky, Rusia, Mongolia, lembah sungai Amur dan Sungari di Manchuria [6]

Zaman Tembikar Mumun

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zaman Tembikar Mumun

Pada masa ini (sekitar 1500 SM-300 SM) mulai terbentuk masyarakat yang bercocok tanam dan berkehidupan sosial-politik. Masyarakat di Korea bagian selatan mengembangkan pertanian padi ladang di Zaman Mumun Tua (1500 SM-850 SM). Di Zaman Mumun Madya (850 SM-550 SM) mulai dikenal sistem masyarakat yang dipimpin oleh kepala suku. Pada Zaman Mumun Muda (sekitar 550 SM-300 SM) bukti arkeologi menunjukkan telah dilakukan upacara kematian (penguburan) bagi orang yang memiliki status tinggi. Produksi perunggu dimulai di Zaman Mumun Madya dan berperan penting dalam kegiatan upacara atau politik setelah tahun 700 SM. Pada periode ini pula pertama kalinya berkembang pemukiman yang berkembang kian besar dan akhirnya hancur: beberapa contohnya seperti Songguk-ri, Daepyeong dan Igeum-dong. Zaman Mumun berakhir sekitar tahun 300 SM.

Gojoseon

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Gojoseon

Gojoseon adalah kerajaan Korea yang pertama. Berdasarkan Samguk Yusa dan teks-teks kuno Korea abad pertengahan[7], Gojoseon didirikan tahun 2333 SM oleh Dangun, putra tokoh mitologi Korea, Hwanin, yang dipercaya diturunkan dari surga.

Masyarakat Gojoseon adalah keturunan dari suku bangsa Altai yang bermigrasi ke Manchuria, daerah sebelah utara Sungai Yangtze (Cina) dan semenanjung Korea. Mereka adalah nenek moyang orang Korea yang pertama yang disebut dalam catatan sejarah [8]

Gojoseon sebenarnya terletak di Liaoning, tetapi sekitar tahun 400 SM memindahkan ibukotanya ke Pyongyang yang sekarang adalah ibukota dari Korea Utara [9][10]

Kebudayaan perunggu

Kebudayaan perunggu menyingsing di Korea sekitar tahun 1500-1000 SM, dan melalui bukti-bukti arkeologi menyebutkan mungkin lebih jauh lagi yaitu tahun 2500 SM[11]

Pada masa ini telah dikenal peralatan seperti pisau belati perunggu (bronze daggers), kaca, persenjataan serta pembuatan kota yang berdinding[12]

Masyarakatnya juga telah membudidayakan padi, kacang merah, kacang kedelai dan gandum. Mereka dapat membuat rumah-rumah yang berbentuk persegi panjang dan membangun dolmen untuk tempat penguburan jenazah. Semenanjung Korea memiliki situs dolmen yang terbanyak di dunia. [6] Gojoseon berubah dari pemukiman bertembok (walled cities) yang bersifat feodal menjadi sebuah kerajaan sebelum abad ke 4 SM [13

Kebudayaan besi

Sejak abad ke 3 SM, kebudayaan besi telah berkembang dan peperangan dengan bangsa Cina menyebabkan pengungsian ke timur dan selatan semenanjung. Baru-baru ini sebuah cermin besi ditemukan di Songseok-ri, Kangdong-gun, kota Pyongyang di Korea Utara[14] yang mungkin berasal dari tahun 1200 SM.

Pada masa ini, sebuah kerajaan bernama Jin, berkembang di bagian selatan semenanjung Korea. Sangat sedikit bukti mengenai keberadaan Kerajaan Jin, namun kerajaan ini sudah mengadakan hubungan dengan Dinasti Han Cina dan mentransfer kebudayaan ke Yayoi (Jepang). [15] Raja dari Gija Joseon mungkin telah lari ke Jin setelah terjadi pemberontakan oleh Wiman. Jin kemudian berkembang jadi Konfederasi Samhan. Dinasti Han lalu menumbangkan Wiman dan mendirikan Empat Komander Han.

Kehancuran

Masih kabur kapankah waktu kejatuhan dan kehancuran Gojoseon, tergantung kepada bagaimana sejarawan memandang Gija Joseon. Sebuah teori dari Joseon Sangosa menyebutkan bahwa Gojoseon mengalami perpecahan tahun 300 SM dan secara perlahan kehilangan kendali atas wilayah teritorinya. Banyak negara (kerajaan) kecil yang menjadi pecahannya seperti Buyeo, Okjeo, Dongye, Guda-guk, Galsa-guk, Gaema-guk, dan Hangin-guk. Sedangkan kerajaan besar Goguryeo dan Baekje berasal dari Buyeo. Masa Tiga Kerajaan Korea dikuasai oleh Goguryeo, Baekje dan Silla walaupun sampai abad ke 5 dan 6 terdapat Kerajaan Buyeo dan Gaya.

Proto Tiga Kerajaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Proto Tiga Kerajaan

Periode Proto Tiga Kerajaan (Masa Sebelum Tiga Kerajaan) kadang-kadang disebut Periode Banyak Negara (열국시대), atau masa sebelum munculnya tiga kerajaan seperti Goguryeo, Baekje dan Silla. Pada masa ini terdapat banyak negara pecahan kerajaan Gojoseon. Yang terbesar adalah Dongbuyeo (Buyeo Timur) dan Bukbuyeo (Buyeo Utara).

Buyeo dan Kerajaan dari Utara

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Buyeo

Setelah kehancuran Gojoseon, Buyo berkembang di Korea Utara saat ini dan sebelah selatan Manchuria, dari abad ke 2 SM sampai tahun 494 M. Sisa-sisa wilayah Gojoseon diserap oleh Goguryeo tahun 494, dan keduanya (Kerajaan Goguryeo dan Baekje) menganggap masing-masing sebagai penerus dari Gojoseon.

Walaupun banyak dari catatan sejarah tidak akurat dan bertentangan, disebutkan pada tahun 86 SM, Buyeo terpecah jadi Buyeo Utara (Bukbuyeo) dan Buyeo Timur (Dongbuyeo). Pada tahun 538 Baekje menamakan diri mereka Nambuyeo (Buyeo Selatan).

Okjeo adalah kerajaan yang terletak di sebelah utara semenanjung Korea dan berdiri setelah jatuhnya Gojoseon. Okjo sendiri sudah menjadi bagian dari Gojoseon sebelum Gojoseon hancur. Okjeo tidak pernah menjadi sepenuhnya kerajaan yang bebas karena selalu menghadapi intervensi dari kerajaan-kerajaan tetangganya. Okjeo kemudian menjadi taklukan Goguryeo di bawah Raja Gwanggaeto yang Agung pada abad ke 5 M.

Dongye adalah kerajaan kecil lain yang terletak di sebelah utara Semenanjung Korea. Dongye berbatasan dengan Okjeo dan dua kerajaan lain yang juga menjadi negeri taklukkn Goguryeo. Dongye juga adalah pecahan dari Gojoseon.

Samhan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Samhan

Samhan (三韓) adalah tiga negara konfederasi yaitu Mahan, Jinhan dan Byeonhan. Samhan terletak di bagian selatan Semenanjung Korea. Tiga konfederasi ini menjadi tonggak pendirian kerajaan Baekje, Silla dan Gaya. Mahan adalah yang terbesar dengan 54 negara bagian, Byeonhan dan Jinhan masing-masing memiliki 12 negara bagian. Kata samhan kemudian digunakan untuk menunjuk Tiga Kerajaan Korea.

Hanja “han” (韓) dari Samhan saat ini digunakan untuk menunjuk Korea (Dae Han Min Guk).

Periode Tiga Kerajaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tiga Kerajaan Korea

Goguryeo

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Goguryeo

Goguryeo adalah kerajaan paling besar di antara Tiga Kerajaan. Goguryeo didirikan tahun 37 SM oleh Jumong (Dongmyeongseong) pertama memeluk Buddhisme pada tahun 372 di masa pemerintahan Raja Raja Sosurim.

Goguryeo mencapai masa keemasan pada abad ke 5, ketika Raja Gwanggaeto yang Agung dan anaknya Raja Raja Jangsu memperluas wilayah kekuasaan sampai Manchuria dan Mongolia, serta merebut Seoul dari tangan kerajaan Baekje. Gwanggaeto dan Jangsu akhirnya memaksa Baekje dan Silla untuk tunduk dan untuk pertama kalinya menyatukan semenanjung Korea.

Goguryeo menangkis berkali-kali serangan tentara Cina dalam Perang Goguryeo-Sui tahun 598 sampai 614 yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Sui. [16] Namun dengan banyaknya perang dengan Cina, telah perlahan-lahan melemahkan Goguryeo. Goguryeo ditundukkan dalam serangan gabungan Silla dan Dinasti Tang tahun 668.

Baekje

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Baekje

Baekje didirikan tahun 18 SM oleh Onjo [7]seperti yang disebutkan di Samguk Sagi.

Teks Cina kuno Sanguo Zhi menyebutkan bahwa Baekje adalah bagian dari Konfederasi Mahan yang berlokasi di lembah Sungai Han (dekat Seoul saat ini). Baekje memperluas wilayah kekuasaannya ke propinsi Chungcheong dan Jeolla dan menjadi saingan bagi Goguryeo dan dinasti-dinasti di Cina.

Pada puncak kegemilangannya pada abad ke 4, Baekje menguasai semua negara bagian Konfederasi Mahan dan menguasai bagian barat semenanjung Korea.

Baekje memainkan peran yang penting dalam mentransfer perkembangan budaya ke Jepang seperti pengenalan karakter Tionghoa, agama Buddha, pembuatan barang dari besi, keramik dan upacara pemakaman [17] Baekje ditundukkan oleh aliansi Silla dan Dinasti Tang pada tahun 660 dan anggota kerajaannya melarikan diri ke Jepang.

Silla

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Silla

Menurut catatan sejarah, Kerajaan Silla terbentuk pada saat unifikasi negara bagian milik Konfederasi Jinhan oleh Bak Hyeokgeose tahun 57 SM di bagian selatan semenanjung Korea.

Artefak Silla seperti kerajinan emas menunjukkan adanya pengaruh nomadik, dan tidak dipengaruhi budaya Tionghoa seperti halnya milik Goguryeo dan Baekje. Silla berkembang cepat dan menguasai wilayah lembah sungai Han dan menyatukan berbagai wilayah kecil.

Pada abad ke 2, Silla mulai tumbuh menjadi kerajaan yang kuat dan sering terlibat perang dengan Baekje, Goguryeo dan Jepang. Pada tahun 660 Raja Silla, Muyeol, menundukkan Baekje bersama Jenderal Kim Yushin yang dibantu pasukan dari Dinasti Tang. Pada tahun 661 Silla dan Tang menyerbu Goguryeo, namun dapat ditangkis. Raja Muyeol melakukan serangan lagi tahun 667 dan Goguryeo ditaklukkan pada tahun berikutnya.

Gaya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Konfederasi Gaya

Konfederasi Gaya adalah sebuah konfederasi yang terletak di lembah sungai Nakdong di Korea bagian selatan. Gaya berkembang dari Konfederasi Byeonhan dan pada tahun 562 ditaklukkan oleh Silla.

Negara Utara dan Selatan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode Negara Selatan dan Utara

Sebutan Negara Utara dan Selatan merujuk pada kerajaan Silla Bersatu dan Balhae, yaitu saat Silla menguasai semenanjung Korea dan Balhae memperluas kekuasaannya di Manchuria.

Silla Bersatu

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Silla Bersatu

Setelah perang unifikasi, Dinasti Tang mendirikan teritori dan komunitasnya di bekas wilayah Goguryeo dan juga di Baekje. Silla menyerang orang-orang Tang di Baekje dan Korea Utara tahun 671. [16]

Cina menginvasi Silla tahun 674 namun gagal di bawah tentara Jenderal Kim Yushin yang kuat. Silla akhirnya mengeluarkan semua kekuatan Tang tahun 676 dan membawa penyatuan bagi sebagian besar semenanjung Korea.

Periode Silla bersatu adalah masa ketika kebudayaan Korea berkembang dengan pesat serta Buddhisme menjadi agama negara. Kuil-kuil seperti Bulguksa adalah contoh betapa pesatnya kebudayaan Korea dalam pengaruh agama Buddha. Beberapa kuil yang indah dibangun seperti Kuil Hwangnyeong, Bunhwangsa, dan Sokkuram yang menjadi Situs Warisan Dunia (UNESCO). Masa ini juga menjadi masa damai ketika Korea menjalin hubungan baik dengan Dinasti Song Cina.

Silla mulai mengalami masa kericuhan politik tahun 789 yang membuat Silla jadi lemah. Sementara itu sisa-sisa Baekje mulai bangkit dan mendirikan Kerajaan Hubaekje (“Baekje Akhir”). [16]

Silla Bersatu hanya bertahan 267 tahun ketika rajanya yang terakhir, Raja Gyeongsun disingkirkan oleh Wanggeon yang mendirikan Dinasti Goryeo tahun 935. [18]

Balhae

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Balhae

Balhae didirikan di bagian utara di bekas wilayah Goguryeo oleh Dae Jo-yeong, mantan jenderal Goguryeo. Balhae menguasai wilayah paling utara dari semenanjung Korea, sebagian besar Manchuria dan wilayah Propinisi Maritim Rusia saat ini. Balhae menyebut kerajaan mereka sebagai penerus dari Goguryeo.

Dalam masa damai, Balhae mengembangkan kebudayaannya, terutama pada masa pemerintahan Raja Mun (sekitar 737-793). Kebudayaan Balhae dipengaruhi oleh Buddhisme sama seperti Silla dan Baekje. Kerajaan Balhae runtuh pada tahun 926 karena diserang oleh bangsa Khitan dari Dinasti Liao.

Tidak ada catatan sejarah dari Balhae yang tersisa. Goryeo menyerap sebagian teritori Balhae dan menerima pengungsinya, termasuk anggota kerajaannya. Dalam teks Samguk Sagi terdapat ringkasan mengenai Balhae, tetapi tidak menuliskan sejarah berdirinya. Sejarawan dari Dinasti Joseon abad 18, Yu Deukgong memasukkan Balhae ke dalam bagian sejarah Korea dan mulai menggunakan penyebutan Periode Negara Utara dan Selatan untuk masa berdirinya Balhae.

Tiga Kerajaan Akhir Korea

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tiga Kerajaan Akhir Korea

Tiga Kerajaan Akhir (892-936) terbagi atas Silla, Hubaekje (Baekje Akhir) dan Taebong (juga dikenal dengan sebutan Hukoguryo atau Goguryeo Akhir). Wang Geon menumbangkan Hubaekje tahun 936 dan mengesahkan pemerintahan baru, yaitu Dinasti Goryeo.

Goryeo

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Goryeo

Dinasti Goryeo didirikan tahun 918 dan sejak tahun 936 menggantikan Silla sebagai kerajaan yang memerintah Semenanjung Korea. Kata Goryeo adalah kependekan dari Goguryeo dan merupakan sebutan bagi orang asing yang merujuk ke Korea. Dinasti ini bertahan sampai tahun 1392.

Pada tahun 1231 bangsa Mongol memulai penyerangan terhadap Goryeo. Setelah peperangan yang melelahkan selama 25 tahun akhirnya Goryeo menandatangani perjanjian damai dengan Kerajaan Mongol. Maka dalam waktu 80 tahun Goryeo berada dalam bayang-bayang kekuasaan bangsa utara itu.

Pada tahun 1340-an Raja Gongmin memberontak terhadap kekuasaan Mongol dan secara cepat menyingkirkan mereka dari semenanjung Korea. Namun Koryo kini sedang menghadapi serangan dari bajak laut Jepang (Wokou) yang mulai mencapai Korea. Tahun 1392 seorang jenderal bernama Yi Seong-gye, memberontak dan mengakhiri kekuasaan dinasti ini.

Joseon

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Joseon

Tahun 1392 setelah Goryeo tumbang, Dinasti yang baru mulai didirikan oleh Jenderal Yi Seong-gye, yaitu Dinasti Joseon. Ia menamakan kerajaan ini sebagai Joseon untuk memberikan penghormatan terhadap Gojoseon, yang merupakan kerajaan pertama bangsa Korea. Yi seong gye memindahkan ibukota ke Hanseong dan membangun Gyeongbokgung serta mengesahkan Konfusianisme sebagai agama negara, yang akhirnya membuat para pendeta Buddha kehilangan kekayaan dan kemakmuran. Dinasti Joseon menikmati perkembangan yang sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Contohnya adalah penemuan abjad Hangeul tahun 1443 oleh Raja Sejong. Dinasti Joseon adalah dinasti yang memiliki usia pemerintahan terpanjang di Asia Timur dalam milenium terakhir.

Ekonomi

Joseon memiliki keadaan ekonomi yang stabil dalam masa-masa damainya, terutama pada masa pemerintahan Raja Sejong yang Agung. Walau demikian, ekonomi Joseon juga pernah menderita banyak kelesuan selain karena serangan-serangan Jepang tahun 1592-1598, juga karena terbongkarnya skandal korupsi internal, suap dan juga pengenaan pajak yang tinggi

Keadaan sosial masyarakat

Dinasti Joseon menerapkan sistem kemasyarakatan yang ketat bagi rakyat yang sangat memengaruhi keadaan ekonomi. Raja adalah puncak dari pemerintahan, sementara Yangban (bangsawan) dan pejabat kantor kerajaan berada di bawahnya. Di bawah Yangban dan pejabat merupakan golongan tengah yang terdiri dari kaum pedagang dan pengrajin. Bagian terbesar dari sistem ini tentunya adalah rakyat jelata yang terdiri dari kaum petani dan budak. Kaum budak menempati posisi terbawah dan tidak membayar pajak pada pemerintah. Jumlah kaum ini pernah mencapai 30% dari populasi.

Invasi-invasi asing

Joseon menderita luka-luka berat pada saat masa Invasi Jepang ke Korea tahun 1592-1598, Invasi Dinasti Qing tahun 1627 dan 1636. Banyak fasilitas yang hancur dan rusak yang membuat perekonomian melemah.

Abad ke 19

Dalam abad ke 19, Korea mencoba mengontrol pengaruh asing dengan menutup semua perbatasannya untuk semua negara kecuali dengan Cina. Tahun 1853 sebuah kapal perang Amerika Serikat, USS South America, berlabuh di Busan selama 10 hari dan mengadakan kontak dengan pejabat-pejabat Korea. Beberapa orang Amerika pernah terdampar di Korea karena kapal mereka tenggelam pada tahun 1855 dan 1865, namun mendapat perlakuan yang baik dari orang Korea dan mereka dipulangkan ke negara asal lewat Cina. Walau demikian Choson tetap waspada terhadap pihak-pihak asing dan juga tetangga mereka, Dinasti Qing.

Invasi Perancis (1866)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Invasi Perancis ke Korea tahun 1866

Invasi Perancis ini terjadi karena pihak Kerajaan yang melakukan pembantaian terhadap misionaris Katolik dari Perancis serta warga Korea yang masuk Kristen. Kejadian ini membuat pasukan Perancis melancarkan serangan pada musim gugur tahun 1866. Peperangan terjadi di Pulau Ganghwa di lepas pantai Incheon dan tentara Korea berhasil dikalahkan oleh pasukan Perancis yang memakai persenjataan modern.

Peristiwa tahun 1866-1895

Kekaisaran Han Raya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kekaisaran Han Raya

Pada tahun 1897, Dinasti Joseon beralih menjadi Kekaisaran Han Raya dengan Kaisar Gojong sebagai pemimpinnya. Pada tanggal 25 Juli 1905 secara efektif Korea sudah berada dalam wilayah prektorat Jepang dengan paksaan tanpa adanya perjanjian dan persetujuan dari Raja Gojong.

Penjajahan Jepang

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penjajahan Jepang atas Korea

Pada tahun 1910 Jepang secara efektif menduduki Korea dalam Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea. Perjanjian ini dipakai oleh Jepang tanpa menghiraukan kemarahan rakyat Korea yang tidak menyetujui perjanjian yang tidak disahkan oleh Raja Gojong tersebut.

Korea diduduki Jepang dengan bentuk kepemimpinan Gubernur Jenderal Korea sampai tahun 1945 ketika Jepang menyerah kepada tentara sekutu.

Jaringan transportasi dan komunikasi dibangun di seluruh wilayah negeri oleh pemerintahan kolonial Jepang dan mengarah pada eksploitasi rakyat Korea. Hanya sedikit manfaat yang didapat rakyat Korea dari modernisasi ini, karena semua fasilitas hanya dibuat untuk melancarkan kepentingan dan perdagangan Jepang. Beberapa kejahatan penjajahan Jepang atas Korea:

  • Meruntuhkan Gyeongbokgung
  • Mengenakan pajak tinggi terhadap hasil pertanian serta mengekspornya ke Jepang yang menyebabkan bencana kelaparan bagi rakyat Korea.
  • Menyiksa dan membunuh warga yang menolak membayar pajak
  • Kerja paksa membangun jalan dan pertambangan
  • Perbudakan seks terhadap wanita Korea [20]
  • Mengirimkan pekerja ke teritori Jepang lain untuk kerja paksa

Spekulasi wafatnya Raja Gojong bulan Januari 1919 karena diracuni oleh mata-mata Jepang membuat rakyat melakukan aksi protes secara damai di seluruh negeri pada tanggal 1 Maret 1919, peristiwa ini disebut Pergerakan 1 Maret. Dalam peristiwa ini tentara dan polisi Jepang membunuh hampir 7000 orang Korea. [21]

Setidaknya 2 juta orang ikut ambil bagian dalam pergerakan ini (Jepang mengklaim kurang dari 500 ribu orang). Banyak warga Kristen Korea juga terbunuh oleh tentara Jepang, termasuk sebuah desa bernama Jeamri yang seluruh penduduknya dibinasakan oleh Jepang karena mendukung perjuangan kemerdekaan. Pergerakan 1 Maret ini telah menginspirasi pidato Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson yang mendeklarasikan kebebasan hak asasi manusia.

Pemerintahan Provisional Republik Korea diresmikan di Shanghai, Cina setelah terjadinya Pergerakan 1 Maret untuk memperjuangkan kemerdekaan Korea. Pemerintahan provisional dianggap sebagai pemerintahan de jure dari rakyat Korea dari tahun 1919 sampai 1948.

Sentimen anti Jepang di Korea terus mencuat, seperti pada peristiwa protes mahasiswa di seluruh Korea pada bulan November 1929 yang membuat pengetatan peraturan militer tahun 1931. Kurikulum sekolah dimodifikasi untuk menghilangkan pengajaran dalam bahasa Korea. Sekolah juga dilarang untuk mengajarkan murid-muridnya mengenai sejarah Korea. Orang Korea dipaksa untuk mengadopsi nama orang Jepang [22] Dalam perang dunia ke II, banyak pula warga Korea yang dipaksa untuk menyokong usaha perang tentara Jepang [23]

Pemecahan Korea

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pembagian Korea

Pembagian Korea menjadi Korea Utara dan Korea Selatan bermula sejak kemenangan Blok Sekutu di dalam Perang Dunia II, mengakhiri 35 tahun Penjajahan Jepang atas Korea. Di dalam sebuah proposal yang ditolak oleh hampir seluruh bangsa Korea, Amerika Serikat dan Uni Soviet setuju untuk sementara menduduki negara Korea sebagai wilayah perwalian dengan zona pengawasan yang didemarkasi pada sepanjang 38 derajat lintang utara. Tujuan perwalian ini adalah untuk mendirikan pemerintah sementara Korea yang akan menjadi “bebas dan merdeka pada waktunya.”[24] Meskipun pemilihan umum dijadwalkan, dua adidaya mendukung dari belakang para pemimpin yang berseberangan dan dua negara itu secara efektif telah didirikan, masing-masing mengakui kedaulatan atas seluruh Semenanjung Korea.

Oleh ivanhanyorin

HMHS BRITTANIC

HMHS Britannic

From Wikipedia, the free encyclopedia
Jump to: navigation, search
For other White Star liners with the same name, see Britannic.
HMHS Britannic.jpg
HMHS Britannic as a hospital ship
Career (UK) Government Ensign of the United Kingdom.svg
Name: HMHS Britannic
Owner: White Star flaga.svg White Star Line
Builder: Harland and Wolff, Belfast
Laid down: 30 November 1911
Launched: 26 February 1914
Christened: Not christened
In service: 23 December 1915 (hospital ship)
Fate: Sunk by mine on 21 November 1916 by Kea
General characteristics
Class and type: Olympic-class ocean liner
Tonnage: 48,158 gross tonnes
Displacement: 53,000 tons
Length: 882 ft 9 in (269.06 m)
Beam: 94 ft (29 m)
Draught: 34 ft 7 in (10.54 m)
Installed power:
  • 24 double-ended, 5 single-ended (coal fired) boilers[1]
  • Two four-cylinder triple expansion reciprocating engines each producing 16,000 hp (12,000 kW) for outboard wing propellers, one low pressure turbine producing 18,000 hp (13,000 kW) for the centre propeller
  • Total 50,000 hp (37,000 kW)
Propulsion:
  • Two bronze triple blade outboard wing propellers
  • One bronze quadruple blade central propeller
Speed:
  • 21 knots (39 km/h; 24 mph)
  • 23 knots (43 km/h; 26 mph) (maximum)
Capacity: 675 as hospital ship (300 wounded, 489 medical staff)
Crew: 860
Notes: Carried no civilian passengers

HMHS Britannic was the third and largest Olympic-class ocean liner of the White Star Line. She was the sister ship of RMS Olympic and RMS Titanic, and was intended to enter service as a transatlantic passenger liner. She was launched just before the start of the First World War and was laid up at her builders in Belfast for many months before being put to use as a hospital ship in 1915. In that role she struck a mine off the Greek island of Kea, in the Kea Channel on 21 November 1916, and sank with the loss of 30 lives.

Contents

[hide]

[edit] History

[edit] Post-Titanic design changes

Following the loss of the Titanic and the subsequent inquiries, several design changes were made to the remaining Olympic-class liners. With Britannic, these changes were made before launching (Olympic was refitted on her return to Harland and Wolff). The main changes included the introduction of a double hull along the engine and boiler rooms and raising six out of the 15 watertight bulkheads up to ‘B’ Deck. A more obvious external change was the fitting of large crane-like davits, each capable of holding six lifeboats. Additional lifeboats could be stored within reach of the davits on the deckhouse roof, and in an emergency the davits could even reach lifeboats on the other side of the vessel. The aim of this design was to enable all the lifeboats to be launched, even if the ship developed a list that would normally prevent lifeboats being launched on the side opposite to the list. However, several of these davits were placed abreast of funnels, defeating that purpose.[2] Similar davits were not fitted to Olympic.

Britannic‘s hull was also 2 feet (0.61 m) wider than her predecessors following the redesign after the loss of Titanic. To keep to a 21 knots (39 km/h) service speed, the shipyard installed a larger turbine rated for 18,000 horsepower (13,000 kW)—versus Olympic‘s and Titanic‘s 16,000 horsepower (12,000 kW)—to compensate for the vessel’s extra width.

Although the White Star Line always denied it,[2][3] most sources say that the ship was supposed to be named Gigantic.[4]

[edit] Construction

Britannic‘s turbine engine being assembled

Britannic was launched on 26 February 1914 at the Harland and Wolff shipyard in Belfast and fitting out began. She had been constructed in the same gantry slip used to build RMS Olympic. Reusing Olympic‘s space saved the shipyard time and money in clearing out a third slip similar in size to those used for Olympic and Titanic. In August 1914, before Britannic could commence transatlantic service between New York and Southampton, the First World War began. Immediately, all shipyards with Admiralty contracts were given top priority to use available raw materials. All civil contracts (including the Britannic) were slowed down. The military authorities requisitioned a large number of ships as armed merchant cruisers or for troop transport. The Admiralty was paying the companies for the use of their vessels but the risk of losing a ship during military operations was high. However, the big ocean liners were not taken for military use, as smaller vessels were much easier to operate. White Star decided to withdraw RMS Olympic from service until the danger had passed. RMS Olympic returned to Belfast on 3 November 1914, while work on her sister continued slowly. All this would change in 1915.

[edit] Requisitioning

Artist’s conception of Britannic in her intended White Star livery.

The need for increased tonnage grew critical as military operations extended to the Eastern Mediterranean. In May 1915, Britannic completed mooring trials of her engines, and was prepared for emergency entrance into service with as little as four weeks notice. The same month also saw the first major loss of a civilian ocean vessel when the Cunard liner RMS Lusitania was torpedoed near the Irish coast by SM U-20.

The following month, the British Admiralty decided to use recently requisitioned passenger liners as troop transports during the Gallipoli campaign (also called the Dardanelles service). The first to sail were Cunard’s RMS Mauretania and RMS Aquitania. As the Gallipoli landings proved to be disastrous and the casualties mounted, the need for large hospital ships for treatment and evacuation of wounded became evident. RMS Aquitania was diverted to hospital ship duties in August (her place as a troop transport would be taken by the RMS Olympic in September) and on 13 November 1915, Britannic was requisitioned as a hospital ship from her storage location at Belfast. Repainted white with large red crosses and a horizontal green stripe, she was renamed HMHS (His Majesty’s Hospital Ship) Britannic and placed under the command of Captain Charles A. Bartlett (1868–1945).

[edit] Last voyage

This section needs additional citations for verification. Please help improve this article by adding citations to reliable sources. Unsourced material may be challenged and removed. (February 2011)

After completing five successful voyages to the Middle Eastern theatre and back to the United Kingdom transporting the sick and wounded, Britannic departed Southampton for Lemnos at 14:23 on 12 November 1916, her sixth voyage to the Mediterranean Sea. The Britannic passed Gibraltar around midnight on 15 November and arrived at Naples on the morning of 17 November for her usual coaling and water refuelling stop, completing the first stage of her mission.

A storm kept the ship at Naples until Sunday afternoon, when Captain Bartlett decided to take advantage of a brief break in the weather and continue on. The seas rose once again just as Britannic left the port but by next morning the storms died and the ship passed the Strait of Messina without problems. Cape Matapan was rounded during the first hours of Tuesday, 21 November. By the morning Britannic was steaming at full speed into the Kea Channel, between Cape Sounion (the southernmost point of Attica, the prefecture that includes Athens) and the island of Kea.

[edit] Explosion

At 8:12 AM on 21 November 1916 a loud explosion shook the ship. The cause, whether it was a torpedo from an enemy submarine or a mine, was not apparent. The reaction in the dining room was immediate; doctors and nurses left instantly for their posts. Not everybody reacted the same way, as further aft the power of the explosion was less felt and many thought the ship had hit a smaller boat. Captain Bartlett and Chief Officer Hume were on the bridge at the time, and the gravity of the situation was soon evident. The first reports were frightening. The explosion had taken place on the starboard side between holds two and three, but the force of the explosion had damaged the watertight bulkhead between hold one and the forepeak. That meant that the first four watertight compartments were filling rapidly with water. To make things worse, the firemen’s tunnel connecting the firemen’s quarters in the bow with boiler room six had also been seriously damaged and water was flowing into that boiler room.

Bartlett ordered the watertight doors closed, sent a distress signal and ordered the crew to prepare the lifeboats. Unfortunately, another surprise was waiting. Along with the damaged watertight door of the firemen’s tunnel, the watertight door between boiler rooms six and five also failed to close properly for an unknown reason. Now water was flowing further aft into boiler room five. The Britannic had reached her flooding limit. She could stay afloat (motionless) with her first six watertight compartments flooded and had five watertight bulkheads rising all the way up to B-deck. Those measures were taken after the Titanic disaster (Titanic could float with her first four compartments flooded but the bulkheads rose only as high as E-deck). Luckily, the next crucial bulkhead between boiler rooms five and four and its door were undamaged and should have guaranteed the survival of the ship. However, there was something else that probably sealed Britannic’s fate: the open portholes of the lower decks. The nurses had opened most of those portholes to ventilate the wards. As the ship’s list increased, water reached this level and began to enter aft from the bulkhead between boiler rooms five and four. With more than six compartments flooded, the Britannic could not stay afloat.

[edit] Evacuation

On the bridge, Captain Bartlett was trying to save his vessel. Only two minutes after the blast, boiler rooms five and six had to be evacuated. In about ten minutes the Britannic was roughly in the same condition the Titanic was one hour after the collision with the iceberg. Fifteen minutes after the ship was struck the open portholes on E-deck were underwater. Water also entered the ship’s aft section from the bulkhead between boiler rooms five and four. The Britannic quickly developed a serious list to starboard. To his right Bartlett saw the shores of Kea, about three miles (5 km) away. He decided to make a last desperate effort to beach the ship. This was not an easy task because of the combined effect of the list and the weight of the rudder. The steering gear was unable to respond properly but by using the propellers alone (giving more power to the port shaft) Britannic slowly started to turn right.

Simultaneously, on the boat deck the crewmembers were preparing the lifeboats. Some of the boats were immediately rushed by a group of stewards and some sailors, who had started to panic. An unknown officer kept his nerve and persuaded his sailors to get out and stand by their positions near the boat stations. He decided to leave the stewards on the lifeboats as they were responsible for starting the panic and he did not want them in his way during the evacuation. However, he left one of the crew with them in order to take charge of the lifeboat after leaving the ship. After this episode, all the sailors under his command remained at their posts until the last moment. As no RAMC personnel were near this boat station at that time, the Officer started to lower the boats, but when he saw that the ship’s engines were still running, he stopped them within six feet (2 m) of the water and waited for orders from the bridge. The occupants of the lifeboats did not take this decision very well and started cursing. Shortly after this, orders finally arrived: no lifeboats should be launched, as the Captain had decided to beach the Britannic.

Assistant Commander Harry William Dyke was making the arrangements for the lowering of the lifeboats from the aft davits of the starboard boat deck when he spotted a group of firemen who had taken a lifeboat from the poop deck without authorisation and had not filled it to maximum capacity. Dyke ordered them to pick up some of the men who had already jumped into the water.

At 08:30, two lifeboats from the boat station assigned to Third Officer David Laws were lowered without his knowledge through the use of the automatic release gear. Those two lifeboats dropped some 6 feet (1.8 m) into the water and hit the water violently. The two lifeboats soon drifted into the still-turning propellers, which were almost out of the water by now. As they reached the turning blades, both lifeboats, together with their occupants, were torn to pieces. Word of the carnage arrived on the bridge, and Captain Bartlett, seeing that water was entering more rapidly as Britannic was moving and that there was a risk of more victims, gave the order to stop the engines. The propellers stopped turning the moment a third lifeboat was about to be reduced to splinters. RAMC occupants of this boat pushed against the blades and got away from them safely.

[edit] Final moments

Britannic sinks after hitting a mine as depicted in the film Britannic.

The Captain officially ordered the crew to lower the boats and at 08:35, he gave the order to abandon ship. The forward set of port side davits soon became useless. The unknown officer had already launched his two lifeboats and managed to launch rapidly one more boat from the after set of portside davits. He then started to prepare the motor launch when First Officer Oliver came with orders from the Captain. Bartlett had ordered Oliver to get in the motor launch and use its speed to pick up survivors from the smashed lifeboats. Then he was to take charge of the small fleet of lifeboats formed around the sinking Britannic. After launching the motor launch with Oliver, the unknown officer filled another lifeboat with seventy-five men and launched it with great difficulty because the port side was now very high from the surface because of the list to starboard. By 08:45, the list to starboard was so great that no davits were operable. The unknown officer with six sailors decided to move to mid-ship on the boat deck to throw overboard-collapsible rafts and deck chairs from the starboard side. About thirty RAMC personnel who were still left on the ship followed them. As he was about to order these men to jump then give his final report to the Captain, the unknown officer spotted Sixth officer Welch and a few sailors near one of the smaller lifeboats on the starboard side. They were trying to lift the boat but they had not enough men. Quickly, the unknown officer ordered his group of forty men to assist the Sixth officer. Together they managed to lift it, load it with men, then launch it safely.

At 09:00, Bartlett sounded one last blast on the whistle then just walked into the water, which had already reached the bridge. He swam to a collapsible boat and began to co-ordinate the rescue operations. The whistle blow was the final signal for the ship’s engineers (commanded by Chief Engineer Robert Fleming) who, like their heroic colleagues on the Titanic, had remained at their posts until the last possible moment. They escaped via the staircase into funnel #4, which ventilated the engine room.

The Britannic rolled over onto her starboard side and the funnels began collapsing. Violet Jessop (who was also one of the survivors of Britannic’s sister-ship Titanic, as well as the third sister, Olympic, when she collided with HMS Hawke), described the last seconds: “She dipped her head a little, then a little lower and still lower. All the deck machinery fell into the sea like a child’s toys. Then she took a fearful plunge, her stern rearing hundreds of feet into the air until with a final roar, she disappeared into the depths, the noise of her going resounding through the water with undreamt-of violence….” It was 09:07, only fifty-five minutes after the explosion. The Britannic was the largest ship lost during the First World War.[5]

[edit] Rescue

Some of the survivors aboard HMS Scourge

The first to arrive on the scene were the Greek fishermen from Kea on their Caïque, who picked up many men from the water. One of them, Francesco Psilas, was later paid £4 by the Admiralty for his services. At 10:00, HMS Scourge sighted the first lifeboats and ten minutes later stopped and picked up 339 survivors. HMS Heroic had arrived some minutes earlier and picked up 494. Some 150 had made it to Korissia (a community on Kea), where surviving doctors and nurses from the Britannic were trying to save the horribly mutilated men, using aprons and pieces of lifebelts to make dressings. A little barren quayside served as their operating room. Although the motor launches were quick to transport the wounded to Korissia, the first lifeboat arrived there some two hours later because of the strong current and their heavy load. It was the lifeboat of Sixth Officer Welch and the unknown Officer. The latter was able to speak some French and managed to talk with one of the local villagers, obtaining some bottles of brandy and some bread for the injured.

The inhabitants of Korissia were deeply moved by the suffering of the wounded. They offered all possible assistance to the survivors and hosted many of them in their houses while waiting for the rescue ships. Violet Jessop approached one of the wounded. “An elderly man, in an RAMC uniform with a row of ribbons on his breast, lay motionless on the ground. Part of his thigh was gone and one foot missing; the grey-green hue of his face contrasted with his fine physique. I took his hand and looked at him. After a long time, he opened his eyes and said: ‘I’m dying’. There seemed nothing to disprove him yet I involuntarily replied: ‘No, you are not going to die, because I’ve just been praying for you to live’. He gave me a beautiful smile . . . That man lived and sang jolly songs for us on Christmas Day.”

The Scourge and Heroic had no deck space for more survivors and they left for Piraeus signalling the presence of those left at Korissia. Luckily, HMS Foxhound arrived at 11:45 and, after sweeping the area, anchored in the small port at 13:00 to offer medical assistance and take onboard the remaining survivors. At 14:00 arrived the light cruiser HMS Foresight. The Foxhound departed for Piraeus at 14:15 while the Foresight remained to arrange the burial on Kea of Sergeant W. Sharpe, who had died of his injuries. Another two men died on the Heroic and one on the French tug Goliath. The three were buried with military honours in the British cemetery at Piraeus. The last fatality was G. Honeycott, who died at the Russian Hospital at Piraeus shortly after the funerals.

1,036 people were saved. Thirty men lost their lives in the disaster but only five were buried. The others were left in the water and their memory is honoured in memorials in Thessaloniki and London. Another twenty-four men were injured. The ship carried no patients. The survivors were hosted in the warships that were anchored at the port of Piraeus. However, the nurses and the officers were hosted in separate hotels at Phaleron. Many Greek citizens and officials attended the funerals.

source : wikipedia bahasa inggris

Oleh ivanhanyorin

NEGARA DENGAN MUSLIM TERBANYAK

10 NEGARA DENGAN POPULASI MUSLIM TERBANYAK

Taukah Anda, negara yang memiliki populasi muslim paling banyak di dunia?, saya coba cari data nya dan alhamdulillah menemukan data yang terpercaya, berikut ini saya coba informasikan 10 negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia lengkap dengan jumlah populasi nya :

1. Indonesia : 182,570,000 orang
2. Pakistan : 134,480,000 orang
3. India : 121,000,000 orang
4. Bangladesh : 114,080,000 orang
5. Turki : 65,510,000 orang
6. Iran : 62,430,000 orang
7. Mesir : 58,630,000 orang
8. Nigeria : 53,000,000 orang
9. Algeria : 30,530,000 orang
10. Marocco : 28,780,000 orang

Sumber : CIA World Factbook

Indonesia ternyata menjadi negara yang memiliki populasi penganut agama islam terbanyak didunia, mudah-mudahan tidak hanya populasinya yang banyak, namun indonesia bisa menjadi teladan bagi negara lain khususnya negara muslim, dengan memiliki populasi terbanyak di imbangi dengan perilaku muslim yang sesuai dengan syariat.

Oleh ivanhanyorin

TUGAS II

Perbedaan mendasar pada web server dansearch engine adalah :

1. Web server

     Perangkat lunak aplikasi internet yang menyediakan berbagai layanan untuk keperluan pengguna internet.

2. Search engine

     Mesin pencari atu salah satu layanan yang disediakan oleh beberapa web server.

Perbedaan Search Engine dan Web Directory

Search engine dan Web directory adalah dua jasa servis pencarian berbeda yang terdapat di komunitas web. Salah satu perbedaan dasar antara search engine dan Web direktori ini adalah Web directory membangun sistim index nya oleh manusia (editor) sedangkan search engine membangun sistem per-indexannya oleh robot atau disebut juga dengan spider atau crawler. Banyak Web direktori dan search engine memiliki sistim index yang dilakukan oleh manusia dan komputer, dan yang disebut dengan sistim hybrid.

Pada search engine, robot/ spider atau crawler mempunyai fungsi untuk membaca konten, menempatkan halaman web dan melaporkan balik hasil temuannya pada search engine database. Ketika orang menggunakan keyword pada search engine untuk mencari situs, mereka sebenarnya sedang mencari pada index di search engine. Perbedaan lain dari kedua jasa pencarian yang banyak digunakan pengguna internet tersebut ialah search engine mencantumkan pendaftarannya berdasarkan halaman web, sedangkan direktori web mencantumkan pendaftarannya berdasarkan website utama (homepage atau root directori pada situs).

Search Engine Submission Tips
Ketika melakukan listing pada website anda ke search engine, lebih baik dilakukan secara manual dan sebelumnya baca dulu petunjuk dan instruksi submission search engine tersebut. Sekarang hampir semua search engine besar memberi petunjuk agar untuk melakukan submit secara manual. Submit situs lebih dari sekali hanya akan memperlambat waktu ter-indexnya oleh mesin pencari.

Jangan mencoba untuk menipu search engine dengan meletakkan kalimat kata kunci pada background yang warnanya sama, meletakkan banyak keywords pada comment dan sebagainya. Jika ketauan situs anda bisa kena ban untuk selamanya.

Buat meta tag yang berhubungan, tiap halaman pada website anda harus memiliki keyword yang berhubungan, begitu juga dengan judul dan deskrispi. Kata kunci (keyword) bisa diletakkan beberapa pada konten, terutama pada heading dan paragraf pertama. Meletakkan keyword pada alt tag juga disarankan (sebagian search engine meng-index alt tag). Anda bisa membuat halaman ‘doorway’ (khusus kata kunci spesifik untuk keyword anda yang paling penting) untuk digunakan sebagai doorway menuju website anda.

Jangan meletakkan simbol simbol pada URL situs anda seperti “&, ?, $, %, =”. Simbol simbol tersebut tidak dikenali oleh search engine. Merubah nama URL pada halaman web, mengganti file extension dan mengubah nama file setelah melakukan submission juga sangat tidak disarankan.

Oleh ivanhanyorin