ISLAM ON JAPAN

Kata ‘agama’ di Jepang bermakna Buddha, Shinto atau Kristen. Buddha dan Shinto sudah ada sejak 15 abad lampau. Tradisi Buddha dan Shinto mempengaruhi pelbagai perayaan di tera (shrine) dan jinja (kuil). Kristen masuk pada abad 16 dan natal juga menjadi perayaan di sini.

Meski kebebasan agama dijamin oleh hukum, hanya 60% dari 127 juta orang Jepang yang mengaku beragama. Itu pun tidak fanatik.

Informasi tentang Islam di Jepang sangat minim, jika tidak dikatakan nihil. Islam barangkali terikat dengan wilayah atau kultur. Bagi orang Jepang, ‘Islam’ identik dengan “Arab, jilbab, sorban, padang pasir, Ka’bah atau poligami”.

Hubungan pertama dengan dunia Islam

Islam dikenal setelah Jepang membuka pintu perdagangan lebih luas pada 1868. Sebelumnya Jepang tertutup pada bangsa asing selama lebih dari dua abad. Tidak sepenuhnya tertutup memang: artikel “Pluralisme Religius di Jepang” menyebutkan bahwa Kristen sudah masuk ke Jepang pada abad ke-16.

Kapal laut Ertugrul dari kerajaan Uthmaniyyah, Turki, datang ke Jepang untuk membuka jalur diplomatik pada 1890. Kapal ini nahas: ia dihancurkan Jepang dan penumpang yang selamat menjadi tawanan. Meski demikian, Ertugrul menandai kontak pertama Jepang dengan dunia Islam.

Kapal utusan diplomatik Turki ke Jepang bernama Ertugrul

Menurut catatan sejarah, tiga orang Jepang dikenal sebagai pemeluk Islam pertama:

  • Tahun 1890, Torajiro Yamada bersimpati pada hancurnya kapal Ertugrul. Ia lalu mengunjungi Turki dan mengganti namanya menjadi Abdul Khalil.  Dia pun berhaji ke Mekkah.
  • Tahun 1909, Mitsutaro Takaoka mengunjungi Mekkah. Dia lalu memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Omar Yamaoka.
  • Tahun 1909 juga, Bumpachiro Aruga memeluk Islam sekembalinya dari India. Dia pun mengganti namanya menjadi Ahmad Aruga

Tahun 1923, pengungsi dari Asia Tengah seperti Tartar, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgistan, Kazakhstan mencari perlindungan ke Jepang karena desakan Revolusi Bolshewyk di Rusia. Makin ramainya muslim kala itu menyebabkan dibangunnya masjid-masjid kecil. Dua masjid didirikan: Masjid Kobe tahun 1935 dan Masjid Tokyo tahun 1938.

Muslim Jepang pada musim haji 1934

Pengetahuan Islam sebagai strategi perang

Selama Perang Dunia II (1939 – 1945) Jepang membangun pusat penelitian Islam atas inisiatif pihak militernya. Pusat-pusat ini mempelajari Islam dan menerjemahkan lebih dari seratus buku dan jurnal tentang Islam ke dalam bahasa Jepang. Ini merupakah strategi tentara Jepang untuk menguasai wilayah Cina Barat dan Asia Tenggara yang mayoritas beragama Islam.

Konon, ketika pesawat tempur tentara Jepang jatuh di Malaysia, pilot yang tertangkap penduduk memekikkan dua kalimat syahadat “La illa ha ilallah” agar penduduk tidak membunuhnya.

Setelah Jepang kalah perang tahun 1945, lembaga-lembaga itu pun ditutup.

Pengetahuan Islam sebagai respon terhadap krisis minyak

Pada bulan Oktober 1973, Persatuan Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak (OAPEC) melakukan embargo minyak sebagai reaksi terhadap Amerika Serikat yang membantu Israel dalam perang Yom Kippur. Akibatnya, harga minyak melonjak 4 kali lipat! Embargo yang menyebabkan ‘oil shock’ global ini berakhir tahun 1974. Saat itulah Jepang merasa bahwa negara-negara Arab sangat penting bagi perekonomian dunia. Jepang menjalin kerjasama lebih kuat dengan Arab Saudi, sehingga Raja Faisal pun mengirimkan da’i dan mendukung berdirinya Islamic Center Japan (ICJ).

Selama masa oil shock tersebut, masyarakat Jepang juga menyaksikan kehidupan negara-negara Arab di televisi. Mereka melihat tata cara ibadah haji di Mekkah, mendengarkan adzan dan bacaan-bacaan Qur’an. Dikabarkan sejumlah orang Jepang masuk Islam karena bersimpati terhadap ajaran-ajaran Islam.

Perkembangan Islam di Jepang Pasca Oil Shock

Sedikit sekali ilmuwan Jepang yang belajar Islam di universitas di Arab. Meskipun begitu, Nur Ad-Din Mori, warga Jepang yang belajar teologi di Mekkah melihat Islam sebagai agama yang penuh pengetahuan dan tak seorang pun dapat menjadi muslim yang baik tanpa belajar.

Perkembangan Islam di Jepang kurang pesat karena beberapa sebab:

  • Secara historis, Islam ‘baru’ dikenal di Jepang. Islam baru masuk pada abad ke-19 sebagai akibat ketertutupan Jepang dan hambatan dari misionaris Spanyol
  • Sedikit sekali orang yang mampu mengajarkan Islam dalam bahasa Jepang
  • Buku-buku Islam sukar dijumpai di toko buku dan perpustakaan
  • Orang Jepang kurang berminat belajar bahasa asing, seperti Bahasa Arab, yang merupakan pengantar utama pengajaran Islam
  • Islam tidak disebarkan melalui festival. Orang Jepang sangat menyukai perayaan. Apabila mereka dilibatkan dalam perayaan, misalnya bagian penyediaan makanan pada hari raya, hal ini membuat orang Jepang lebih terekspos dengan Islam
  • Islam tidak dianut oleh tokoh masyarakat. Berbeda dengan Kristen di mana ia lebih populer karena menteri kebudayaan Jepang adalah pemeluk Kristen. Jumlah orang Kristen di Jepang berjumlah 1 juta orang

Karena aspek-aspek di atas, jumlah orang Islam di Jepang hanya 250 ribu orang (0.2% populasi Jepang). Sebagian besar orang Islam di Jepang adalah pendatang dari negara-negara Islam. Ada juga orang Jepang yang berpindah agama karena alasan perkawinan.

Subhanallah, Masjid Kobe Kokoh dari Terjangan Bom Atom dan Gempa

PUTRICANDRAMIDI – Tahun 1945, Jepang terlibat perang Dunia Kedua. penyerangan Jepang atas pelabuhan Pearl Harbour di Amerika telah membuat pemerintah Amerika memutuskan untuk menjatuhkan bom atom pertama kali dalam sebuah peperangan.

Dan Jepang pun kalah. Dua kotanya, Nagasaki dan Hiroshima dibom Atom oleh Amerika. Saat itu, kota Kobe juga tidak ketinggalan menerima akibatnya. Boleh dibilang Kobe menjadi rata dengan tanah.

Ketika bangunan di sekitarnya hampir rata dengan tanah, Masjid Muslim Kobe tetap berdiri tegak. Masjid ini hanya mengalami keretakan pada dinding luar dan semua kaca jendelanya pecah.
Bagian luar masjid menjadi agak hitam karena asap serangan bom. Tentara Jepang yang berlindung di basement masjid selamat dari ancaman bom, begitu juga dengan senjata-senjata yang disembunyikannya. Masjid ini kemudian menjadi tempat pengungsian korban perang.

Pemerintah Arab Saudi dan Kuwait menyumbang dana renovasi dalam jumlah yang besar. Kaca-kaca jendela yang pecah diganti dengan kaca-kaca jendela baru yang didatangkan langsung dari Jerman. Sebuah lampu hias baru digantungkan di tengah ruang salat utama. Sistem pengatur suhu ruangan lalu dipasang di masjid ini.

Sekolah yang hancur akibat perang kembali direnovasi dan beberapa bangunan tambahan pun mulai dibangun. Umat Islam kembali menikmati kegiatan-kegiatan keagamaan mereka di Masjid Muslim Kobe.

Krisis keuangan sering menghampiri kas komite masjid. Pajak bangunan yang tinggi membuat komite masjid harus mengeluarkan cukup banyak biaya dari kasnya. Beruntung, banyak donatur yang siap memberikan uluran tangannya untuk menyelesaikan masalah keuangan pembangunan dan renovasi masjid ini. Donasinya bahkan bisa membuat Masjid Muslim Kobe menjadi semakin berkembang.

Kekokohan Masjid Kobe diuji lagi dengan Gempa Bumi paling dahsyat tahun 1995. Tepatnya pada pukul 05.46 Selasa, 17 Januari 1995. Gempa ini sebenarnya bukan hanya menimpa Kobe saja, tapi juga kawasan sekitarnya seperti South Hyogo, Hyogo-ken Nanbu dan lainnya.

Para ahli menyebutkan bahwa gempa itu disebabkan oleh tiga buah lempeng yang saling bertabrakan, yaitu lempeng Filipina, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia. Meski hanya berlangsung 20 detik, namun gempa ini memakan korban jiwa sebanyak 6.433 orang, yang sebagian besar merupakan penduduk kota Kobe. Selain itu gempa Kobe juga mengakibatkan kerusakan besar kota seluas 20 km dari pusat gempa.

Gempa bumi besar Hanshin-Awaji merupakan gempa bumi terburuk di Jepang sejak Gempa bumi besar Kanto 1923 yang menelan korban jiwa 140.000 orang. Namun hingga kini masjid Kobe tetap berdiri kokoh dan tegak, seakan tidak tergoyahkan meski didera berbagai bencana

Oleh ivanhanyorin

Tinggalkan komentar